Nias Termasuk Pulau yang Diprediksi Bakal Tenggelam Akibat Pemanasan Global

Jakarta, MimbarBangsa.co.id — Sekitar 115 pulau sedang dan kecil di Indonesia terancam hilang atau tenggelam akibat naiknya permukaan air laut. Demikian disampaikan Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Eddy Hermawan dalam sebuah diskusi , Kamis 16 September 2021.

“Jangan terkecoh dengan kawasan Pantura saja, jangan terkecoh dengan Jakarta saja, apa yang akan terjadi di tahun-tahun berikutnya, inilah 115 pulau-pulau sedang dan kecil ini bisa tenggelam,” kata Eddy.

Eddy berharap perhatian juga tertuju pada pulau-pulau sedang dan kecil di Indonesia seperti daerah wisata termasuk Bali dan Nias dan pulau-pulau lain. Termasuk di sepanjang pantai barat Sumatera yang juga terancam tenggelam, sehingga tidak hanya terpaku pada persoalan terancamnya Jakarta atau kota pesisir di Pantai Utara Jawa saja.

“Tidak hanya Jakarta yang terancam, pulau-pulau kecil juga terancam,” tuturnya.

Menurut Eddy, kenaikan air laut tersebut disebabkan perubahan iklim dan penurunan muka sehingga perlu kombinasi upaya mitigasi dan adaptasi ke depannya agar tidak kehilangan pulau-pulau tersebut.

Namun begitu, kepada Liputan6.com dia mengatakan publik tidak usah merasakan kekhawatiran yang berlebihan. Khususnya terkait besaran angka kenaikan air muka laut yang sebenarnya lebih kecil dari angka yang banyak dirilis berbagai lembaga. Apalagi jika merujuk pada laporan dari International Panel Climate Change (IPCC), badan resmi dunia yang bertangung jawab tentang perubahan iklim.

“Kalau melihat dari angka yang secara global pun kecil. Bahkan, 2030 di mana (Presiden AS) Joe Biden mengatakan hal itu relatif kecil. Saya menghitung hanya 25 cm di 2050, jadi 2030 tentu lebih kecil lagi kenaikan air muka lautnya,” jelas Eddy, Jumat (17/9/2021) petang.

Dia mengatakan, ada media yang mengabarkan bahwa kenaikan air muka laut di pesisir Jakarta bisa mencapai empat meter pada 2030. Hal itu terlalu ekstrim dan berbahaya, karena jika ada bias pun mungkin hanya sampai 50 cm, tidak sampai hitungan meter.

“Jadi model dari mana angka meter itu? Logika saja, perjalanan es mencair dari Kutub ke Jakarta berapa lama? Kalau memang es mencair karena memang emisi CO2 naik, pasti negara-negara Skandinavia seperti Denmark dan Belgia habis duluan, nggak usah jauh-jauh, Singapura juga,” tegas Eddy.

Yang jelas, lanjut dia, perubahan iklim memang terjadi, kita tak bisa menghentikan. Tapi bisa menghambatnya dengan mengantisipasi emisi CO2 itu dengan menguranginya. Karena kalau menihilkam susah, sementara tiap hari orang naik mobil dan tiap pembakaran karbon menghasilkan CO2. Negara-negara penghasil minyak juga berkontribusi terhadap perubahan iklim, juga. Karena tiap yang dibakar menghasilkan emisi.

“Memang ada keinginan untuk menghapus dampak itu menjadi nol, misalnya dengan menghadirkan teknologi mobil listrik. Tapi mobilnya belum siap pakai, stasiun pengisiannya belum ada. Mau pakai juga infrastrukturnya juga belum support,” jelas Eddy.

Jadi, lanjut dia, tidak bijak juga jika dikatakan perubahan iklim melulu soal ulah manusia, karena juga ada pengaruh alamiah. Seperti aktivitas matahari yang mencapai puncak panasnya yang berimbas ke es di kutub.

“Manusia bukan faktor utamanya, tapi manusia yang memperparahnya. Selama kita manusia tidak tanggung jawab dengan apa yang sudah diperbuat maka akan sulit. Di sisi lain, ini terkait dengan sumber penghidupan mereka. Misal membuka lahan untuk bertani dengan cara membakar, jadi dilematis juga,” ujar Eddy.

Dia pun menyarankan menyediakan mata pencaharian yang aktivitas sehari-harinya tidak memicu kerusakan alam agar mereka bisa menghasilkan sesuatu untuk hidup tanpa harus merusak lingkungan.

“Jadi menurut hemat saya, untuk mengantisipasi agar air muka laut tak semakin parah, coba bangun mangrove di sepanjang Pantura. Hal itu sudah dilakukan tapi belum merata, kemudian juga penghijauan juga ditingkatkan untuk mengurangi emisi tadi,” pungkas Eddy.

Sementara itu, Project Officer Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional Abdul Ghofar mengatakan pihaknya tidak kaget dengan data yang dilansir BRIN.

“Pada 2019, Walhi Sumsel sudah bikin laporan akhir tahun yang salah satunya menyebutkan empat pulau di Sumsel sudah dinyatakan hilang. Demikian pula ketika isu dampak krisis iklim ramai kembali waktu (Presiden AS) Joe Biden bilang Jakarta merupakan salah satu kota yang akan tenggelam. Faktanya, tidak hanya pesisir Jakarta, Semarang, Pekalongan, dan wilayah utara Pulau Jawa sama rentannya dengan Jakarta,” ujar Abdul kepada Liputan6.com, Jumat petang.

Dia mengatakan, angka penurunan permukaan tanah di lokasi tersebut lebih cepat dibandingkan Jakarta, selaras dengan kenaikan air laut sebagai dampak krisis iklim. Berikutnya pulau-pulau kecil, yang rentan karena eksposenya memang agak minim karena bukan merupakan kawasan padat penduduk.

“Kalau melihat datanya, semua itu memang dampak dari perubahan iklim ya, kalau soal adanya ulah manusia di situ, baik yang tinggal di wilayah pulau atau dalam wilayah yang lebih besar, saya pikir kalau melihat kausalitasnya memang berkaitan erat dengan aktivitas manusia,” tegas Abdul.

 

Dia mengatakan, European Perceptions of Climate Change (EPCC) pada bulan Agustus 2021 merilis laporan yang menyatakan bahwa aktivitas manusia, mulai dari industri tranposrtasi, deforestasi untuk alih fungsi kawasan perkebunan dan pertanian, maupun permukiman telah menjadi penyebab krisis iklim saat ini.

“Jadi human activity adalah faktor utama terjadinya krisis iklim. Tetapi kalau mau dilihat di skala lebih kecil, keterancaman pulau-pulau kecil itu dampak dari aktivitas manusia di sekutar pulau itu sangat minimalis, paling soal perubahan fungsi kawasan, seperti mangrove sebagai benteng alami pesisir berubah fungsi, misalnya untuk tambak,” jelas Abdul.

Ketika ditanyakan sampai kapan pulau-pulau itu bisa bertahan, dia mengatakan Walhi daerah umumnya menggunakan permodelan satelit, seperti Walhi Sumsel yang mengukur hilangnya pulau-pulau kecil.

Sementara lembaga Climate Center membuat permodelan dengan tiga skenario, pertama skenario paling buruk, moderat, dan yang bagus. Kalau diambil skala moderat, mereka memproyeksikan kenaikan hingga tahun 2100 sekitar 0,4 meter atau 40 cm.

“Memang terlihat tidak tinggi, tapi jalau kita melihat kawasan permukiman di Indonesia itu sebagian besar wilayah pesisir yang hari ini sudah mengalami dampak signifikan, Pekalongan itu sudah terdampak parah, Jakarta Utara parah, Demak parah, Semarang parah, apalagi nanti kalau menunggu tahun 2050 atau 2100, dampaknya akan banyak pengungsi,” ujar Abdul.

Menurut dia, ada dua langkah yang harus dilakukan pemerintah pusat untuk mencegah krisis ini terjadi. Pertama, pengurangan emisi karbon itu harus signifikan dilakukan, karena rencana pengurangan emisi Indonesia itu kurang ambisius dan kurang serius. Jadi pemerintah harus segera mengeluarkan kebijakan yang lebih serius dan ambisus untuk pengurangan emisi di semua sektor.

“Berikutnya transisi energi, kita tahu lebih dari 50 persen pembangkit listrik kita itu didominasi energi kotor terutama yang bersumber dari batubara. Nah, dorongan untuk melakukan penghentian operasj PLTU Batubara hatus dipercepat. Apalagi tren global banyak yang sudah bertransisi, PLTU sudah lama dipensiunkan, mulai mengejar enegeri baru terbarukan,” jelas Abdul.

Sementara dalam skala lokal, lanjut dia, ada upaya untuk melakukan adaptasi dan mitigasi, salah satunya melakukan pendekatan di kawasan ekosistem mangrove sebagai benteng alami pertahanan dari ombak harus diperbanyak. Pemerintah bisa membantu untuk membiayai pembibitan dan pemeliharaan benteng alami yang sudah diinisiasi masyarakat.

“Jadi, alih fungsi lahan di mangrove itu harus dicegah, karena banyak praktik terutama di pesisir utara Pulau Jawa, kawasan ekosistem mangrove itu dialihfungsikan jadi kawasan industri, seperti di Kendal dekat Semarang,” pungkas Abdul.

Awan cumulonimbus menyelimuti perairan Teluk Jakarta, Minggu (10/1/2021). Sejak beberapa hari terakhir, perairan Teluk Jakarta diselimuti cuaca ekstrem yang berbahaya bagi pelayaran dan penerbangan. (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta Sekitar 115 pulau sedang dan kecil di Indonesia terancam hilang atau tenggelam akibat naiknya permukaan air laut. Demikian disampaikan Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Eddy Hermawan dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis 16 September 2021.

“Jangan terkecoh dengan kawasan Pantura saja, jangan terkecoh dengan Jakarta saja, apa yang akan terjadi di tahun-tahun berikutnya, inilah 115 pulau-pulau sedang dan kecil ini bisa tenggelam,” kata Eddy.

Eddy berharap perhatian juga tertuju pada pulau-pulau sedang dan kecil di Indonesia seperti daerah wisata termasuk Bali dan Nias dan pulau-pulau lain. Termasuk di sepanjang pantai barat Sumatera yang juga terancam tenggelam, sehingga tidak hanya terpaku pada persoalan terancamnya Jakarta atau kota pesisir di Pantai Utara Jawa saja.

“Tidak hanya Jakarta yang terancam, pulau-pulau kecil juga terancam,” tuturnya.

Menurut Eddy, kenaikan air laut tersebut disebabkan perubahan iklim dan penurunan muka tanah sehingga perlu kombinasi upaya mitigasi dan adaptasi ke depannya agar tidak kehilangan pulau-pulau tersebut.

Namun begitu, kepada Liputan6.com dia mengatakan publik tidak usah merasakan kekhawatiran yang berlebihan. Khususnya terkait besaran angka kenaikan air muka laut yang sebenarnya lebih kecil dari angka yang banyak dirilis berbagai lembaga. Apalagi jika merujuk pada laporan dari International Panel Climate Change (IPCC), badan resmi dunia yang bertangung jawab tentang perubahan iklim.

“Kalau melihat dari angka yang secara global pun kecil. Bahkan, 2030 di mana (Presiden AS) Joe Biden mengatakan hal itu relatif kecil. Saya menghitung hanya 25 cm di 2050, jadi 2030 tentu lebih kecil lagi kenaikan air muka lautnya,” jelas Eddy, Jumat (17/9/2021) petang.

Dia mengatakan, ada media yang mengabarkan bahwa kenaikan air muka laut di pesisir Jakarta bisa mencapai empat meter pada 2030. Hal itu terlalu ekstrim dan berbahaya, karena jika ada bias pun mungkin hanya sampai 50 cm, tidak sampai hitungan meter.

“Jadi model dari mana angka meter itu? Logika saja, perjalanan es mencair dari Kutub ke Jakarta berapa lama? Kalau memang es mencair karena memang emisi CO2 naik, pasti negara-negara Skandinavia seperti Denmark dan Belgia habis duluan, nggak usah jauh-jauh, Singapura juga,” tegas Eddy.

Yang jelas, lanjut dia, perubahan iklim memang terjadi, kita tak bisa menghentikan. Tapi bisa menghambatnya dengan mengantisipasi emisi CO2 itu dengan menguranginya. Karena kalau menihilkam susah, sementara tiap hari orang naik mobil dan tiap pembakaran karbon menghasilkan CO2. Negara-negara penghasil minyak juga berkontribusi terhadap perubahan iklim, hutan juga. Karena tiap yang dibakar menghasilkan emisi.

“Memang ada keinginan untuk menghapus dampak itu menjadi nol, misalnya dengan menghadirkan teknologi mobil listrik. Tapi mobilnya belum siap pakai, stasiun pengisiannya belum ada. Mau pakai gas juga infrastrukturnya juga belum support,” jelas Eddy.

Jadi, lanjut dia, tidak bijak juga jika dikatakan perubahan iklim melulu soal ulah manusia, karena juga ada pengaruh alamiah. Seperti aktivitas matahari yang mencapai puncak panasnya yang berimbas ke es di kutub.

“Manusia bukan faktor utamanya, tapi manusia yang memperparahnya. Selama kita manusia tidak tanggung jawab dengan apa yang sudah diperbuat maka akan sulit. Di sisi lain, ini terkait dengan sumber penghidupan mereka. Misal membuka lahan untuk bertani dengan cara membakar, jadi dilematis juga,” ujar Eddy.

Dia pun menyarankan pemerintah menyediakan mata pencaharian yang aktivitas sehari-harinya tidak memicu kerusakan alam agar mereka bisa menghasilkan sesuatu untuk hidup tanpa harus merusak lingkungan.

“Jadi menurut hemat saya, untuk mengantisipasi agar air muka laut tak semakin parah, coba bangun mangrove di sepanjang Pantura. Hal itu sudah dilakukan tapi belum merata, kemudian juga penghijauan juga ditingkatkan untuk mengurangi emisi tadi,” pungkas Eddy.

Sementara itu, Project Officer Keadilan Iklim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional Abdul Ghofar mengatakan pihaknya tidak kaget dengan data yang dilansir BRIN.

“Pada 2019, Walhi Sumsel sudah bikin laporan akhir tahun yang salah satunya menyebutkan empat pulau di Sumsel sudah dinyatakan hilang. Demikian pula ketika isu dampak krisis iklim ramai kembali waktu (Presiden AS) Joe Biden bilang Jakarta merupakan salah satu kota yang akan tenggelam. Faktanya, tidak hanya pesisir Jakarta, Semarang, Pekalongan, dan wilayah utara Pulau Jawa sama rentannya dengan Jakarta,” ujar Abdul kepada Liputan6.com, Jumat petang.

Dia mengatakan, angka penurunan permukaan tanah di lokasi tersebut lebih cepat dibandingkan Jakarta, selaras dengan kenaikan air laut sebagai dampak krisis iklim. Berikutnya pulau-pulau kecil, yang rentan karena eksposenya memang agak minim karena bukan merupakan kawasan padat penduduk.

“Kalau melihat datanya, semua itu memang dampak dari perubahan iklim ya, kalau soal adanya ulah manusia di situ, baik yang tinggal di wilayah pulau atau dalam wilayah yang lebih besar, saya pikir kalau melihat kausalitasnya memang berkaitan erat dengan aktivitas manusia,” tegas Abdul.

Dia mengatakan, European Perceptions of Climate Change (EPCC) pada bulan Agustus 2021 merilis laporan yang menyatakan bahwa aktivitas manusia, mulai dari industri tranposrtasi, deforestasi untuk alih fungsi kawasan perkebunan dan pertanian, maupun permukiman telah menjadi penyebab krisis iklim saat ini.

Ilustrasi pemanasan global
Ilustrasi pemanasan global

“Jadi human activity adalah faktor utama terjadinya krisis iklim. Tetapi kalau mau dilihat di skala lebih kecil, keterancaman pulau-pulau kecil itu dampak dari aktivitas manusia di sekutar pulau itu sangat minimalis, paling soal perubahan fungsi kawasan, seperti mangrove sebagai benteng alami pesisir berubah fungsi, misalnya untuk tambak,” jelas Abdul.

Ketika ditanyakan sampai kapan pulau-pulau itu bisa bertahan, dia mengatakan Walhi daerah umumnya menggunakan permodelan satelit, seperti Walhi Sumsel yang mengukur hilangnya pulau-pulau kecil.

Sementara lembaga Climate Center membuat permodelan dengan tiga skenario, pertama skenario paling buruk, moderat, dan yang bagus. Kalau diambil skala moderat, mereka memproyeksikan kenaikan hingga tahun 2100 sekitar 0,4 meter atau 40 cm.

“Memang terlihat tidak tinggi, tapi jalau kita melihat kawasan permukiman di Indonesia itu sebagian besar wilayah pesisir yang hari ini sudah mengalami dampak signifikan, Pekalongan itu sudah terdampak parah, Jakarta Utara parah, Demak parah, Semarang parah, apalagi nanti kalau menunggu tahun 2050 atau 2100, dampaknya akan banyak pengungsi,” ujar Abdul.

Menurut dia, ada dua langkah yang harus dilakukan pemerintah pusat untuk mencegah krisis ini terjadi. Pertama, pengurangan emisi karbon itu harus signifikan dilakukan, karena rencana pengurangan emisi Indonesia itu kurang ambisius dan kurang serius. Jadi pemerintah harus segera mengeluarkan kebijakan yang lebih serius dan ambisus untuk pengurangan emisi di semua sektor.

“Berikutnya transisi energi, kita tahu lebih dari 50 persen pembangkit listrik kita itu didominasi energi kotor terutama yang bersumber dari batubara. Nah, dorongan untuk melakukan penghentian operasj PLTU Batubara hatus dipercepat. Apalagi tren global banyak yang sudah bertransisi, PLTU sudah lama dipensiunkan, mulai mengejar enegeri baru terbarukan,” jelas Abdul.

Sementara dalam skala lokal, lanjut dia, ada upaya untuk melakukan adaptasi dan mitigasi, salah satunya melakukan pendekatan di kawasan ekosistem mangrove sebagai benteng alami pertahanan dari ombak harus diperbanyak. Pemerintah bisa membantu untuk membiayai pembibitan dan pemeliharaan benteng alami yang sudah diinisiasi masyarakat.

“Jadi, alih fungsi lahan di mangrove itu harus dicegah, karena banyak praktik terutama di pesisir utara Pulau Jawa, kawasan ekosistem mangrove itu dialihfungsikan jadi kawasan industri, seperti di Kendal dekat Semarang,” pungkas Abdul.

Hitung Mundur Jakarta dan Bali

Ilustrasi perubahan iklim.
Ilustrasi perubahan iklim.

Selain menyorot ratusan pulau di Indonesia yang bakal tenggelam akibat perubahan iklim dan pemanasan global, Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Eddy Hermawan juga memberi catatan khusus terhadap kawasan pesisir Jakarta.

“Tidak hanya pemanasan global, penurunan muka tanah juga merupakan kontributor cukup besar yang menyebabkan Jakarta menjadi terendam,” ujar Eddy.

Ia menyarankan untuk lebih mengutamakan langkah-langkah yang memprioritaskan kelestarian dan keberlanjutan lingkungan seperti penanaman mangrove dan reboisasi serta menghasilkan dan menerapkan inovasi yang bisa menjadi solusi terhadap masalah itu.

Eddy menuturkan, hasil menunjukkan kenaikan permukaan air laut akan menutupi Jakarta secara permanen pada 2050 sekitar 160,4 km persegi atau sama dengan 24,3 persen dari luas total wilayah saat ini. Air laut masuk antara lain ke wilayah Tanjung Priok, Pademangan, Penjaringan, Bandara Hatta, Koja dan Cilincing.

Selain perubahan iklim dan penurunan muka tanah, Eddy menuturkan kondisi wilayah Jakarta juga menyebabkan potensi wilayah itu terendam air laut juga makin tinggi karena berupa wilayah landai dan teluk.

“Kondisi lokal setempat Jakarta yang memang juga menjadi serangan empuk bagi masuknya air laut karena tanahnya landai, empuk, bentuknya teluk,” tutur dia.

Eddy menuturkan, semua kawasan Pantura memang berisiko masuknya air laut, namun terlebih khusus daerah Jakarta karena kondisi lokal tanah yang empuk dan topografi wilayah yang membuat Jakarta makin berisiko terendam.

“Pada dasarnya yang terjadi saat ini adalah kombinasi yang sudah airnya naik karena es mencair di kutub tetapi juga penurunan muka tanah yang tidak bisa kita kontrol sebenarnya,” jelas dia.

Sementara itu, Utusan Khusus Gubernur DKI Jakarta untuk Perubahan Iklim Irvan Pulungan mengatakan salah satu faktor yang meningkatkan potensi Jakarta tenggelam di tengah adalah penggunaan sumber daya air secara masif yang menyebabkan penurunan muka tanah.

“Terdapat beberapa faktor yang meningkatkan potensi tenggelamnya Jakarta, yaitu letak geografis DKI Jakarta yang memang 40 persen wilayahnya berada di bawah permukaan laut, tingkat urbanisasi yang masif menyebabkan pembebanan pembangunan, serta penggunaan sumber air yang masif menyebabkan turunnya permukaan tanah,” kata Irvan.

Dia menuturkan, sebagai upaya mengatasi masalah tersebut, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mengeluarkan sejumlah kebijakan strategis terutama untuk pengendalian bencana perubahan iklim, pengendalian banjir dan perlindungan pesisir, serta perlambatan penurunan muka tanah.

“Untuk pengendalian bencana perubahan iklim, Pemerintah DKI mengeluarkan sejumlah kebijakan/regulasi terkait seperti rencana aksi daerah penurunan gas rumah kaca, bangunan gedung hijau, perlindungan dan pengelolaan pohon, dan tim kerja mitigasi dan adaptasi bencana iklim,” jelas Irvan.

Aksi yang telah dilakukan terkait pengendalian untuk perubahan iklim antara lain zona rendah emisi di kawasan Kota Tua, peningkatan kuantitas dan kualitas ruang terbuka hijau, kerja sama antar pemerintah daerah hulu dalam pengelolaan daerah aliran sungai dan tata kelola wilayah tangkapan air, serta perluasan layanan air bersih melalui subsidi air minum.

Sementara aksi yang telah dilakukan terkait pengendalian banjir dan perlindungan pesisir antara lain pengerukan sungai untuk memberikan ruang tambahan bagi aliran air, sumur resapan, penanaman mangrove di pesisir Jakarta dan Kepulauan Seribu, pembangunan tanggul pantai, peningkatan adaptasi masyarakat atas bencana banjir, dan penyusunan rencana kontijensi banjir serta garis komando dalam pelaksanaan evakuasi kejadian banjir.

Irvan menuturkan perlunya inovasi dalam tata kelola kawasan perkotaan, dan pendekatan pengelolaan sumber daya yang lebih sirkular.

Pemerintah DKI Jakarta juga mendorong kolaborasi aksi pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat dan daerah, organisasi masyarakat sipil dan organisasi akademik dalam menanggulangi krisis iklim melalui pembentukan Tim Kerja Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim.

Di sisi lain, melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 57 Tahun 2021, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan subsidi air bersih untuk mendorong terwujudnya perluasan layanan air bersih bagi warga Jakarta yang pada akhirnya dapat membantu mengurangi penggunaan air tanah yang mengakibatkan penurunan muka tanah di Jakarta.

Selain Jakarta, Pulau Bali juga diprediksi akan tenggelam. Pada tahun 2050, Pulau Bali diprediksi akan terendam seluas 489 km. Hal itu disebabkan oleh curah hujan yang terus meningkat dalam jangka panjang.

Terkait hal itu, Direktur Walhi Bali I Made Juli Untung Pratama mengatakan, dirinya tidak membantah temuan itu. Sejak lama Walhi Bali sudah mengingatkan banyak pihak soal adanya potensi kenaikan air laut yang lama-kelamaan membuat Bali tenggelam dan hilang. Selain perubahan iklim, kenaikan muka air laut di wilayah pesisir juga banyak disebabkan oleh pembangunan pariwisata yang tidak ramah lingkungan.

“Pembangunan proyek-proyek yang berada di pesisir ini yang mengancam Pulau Bali sesungguhnya. Kalau dibilang potensi tenggelam, tentunya itu sudah lama kami sadari,” kata Made Juli saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (17/9/2021).

Dia mengatakan, temuan Walhi mengungkap abrasi di pesisir Bali sudah terjadi sejak tahun 60-an. Sejak landasan pacu Bandara Ngurah Rai dibangun dengan mereklamasi pantai. Berdasarkan pencitraan tahun 1972 hingga saat ini tercatat garis pantai mundur hingga ribuan meter. Ukuran tahun 1972 dipakai karena di periode itulah dimulainya revolusi industri yang menjadi awal terjadinya perubahan iklim.

“Pura Cedok Waru itu saksinya, mundur sampai tiga kali karena reklamasi air laut naik. Jadinya pura itu tenggelam lalu dipindah lagi, itu sampai tiga kali,” kata Made Juli.

Perubahan iklim secara global diakui memang menjadi salah satu penyebab naiknya muka air laut di banyak tempat. Tapi bukan berarti pihaknya tutup mata terhadap perusakan lingkungan yang juga marak terjadi.

Dia mencontohkan pembangunan proyek-proyek pariwisata di pesisir Bali, yang suka tidak suka turut menjadi biang keladi yang mempercepat Bali tenggelam. Apalagi melihat proyek-proyek tambang pasir, proyek perluasan bandara 153 hektare dan rencana perluasan pelabuhan seluas 1.000-an hektare.

“Kalau dalam hukum tata ruang itu kan seharusnya hukum yang mengatur pariwisata, pada kenyataanya di Bali pariwisata yang mengatur hukum,” tegas Made Juli.

Dia lantas memberi contoh, ada investor ingin membangun destinasi wisata tapi di wilayah konservasi. Kenyataannya bukan pariwisatanya yang mengikuti aturan konservasi, tapi hukumnya yang dipermainkan agar wilayah konservasi ini bisa mengakomodir pariwisata.

“Baru-baru ini, tahun 2019, itu mangrove kita itu mati 17 hektare akibat reklamasi Pelabuhan Benoa,” kata Made Juli.

Saat ini di Bali, kata dia, ada Perda Zonasi Pesisir, namanya Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Praktiknya sama seperti tata ruang, mana daerah yang boleh dibangun, dan mana daerah yang perlu dilindungi.

“Tapi pada kenyataannya, perda ini banyak mengakomodir proyek-proyek yang merusak lingkungan hidup, seperti tambang pasir, reklamasi, dan perluasan kawasan pesisir. Jika proyek-proyek seperti itu malah diakomodir, maka potensi tenggelamnya Bali akan lebih cepat,” Made Juli memungkasi.

Segera Hilang Dari Peta

 

Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, misalnya, pernah menyampaikan proyeksi permukaan laut pada 2050 dan 2100 akan naik 25-50 sentimeter (cm). Kenaikan permukaan laut akan mengancam warga kawasan pesisir di Indonesia, seperti Jakarta, Semarang, dan Demak.

LIPI juga membeberkan faktor lain yang ikut mendukung penurunan permukaan tanah Jakarta. Salah satunya akibat pertambahan bangunan dalam skala masif setiap tahun.

Bangunan-bangunan untuk kepentingan industri, perkantoran, perumahan menyebabkan daerah resapan air semakin menipis. Hal itu, kata ahli, perlu ditata ulang oleh pemerintah.

Hal senada diungkapkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Dikutip dari laman www.walhi.or.id, abrasi mengancam keberadaan pulau-pulau di pesisir Provinsi Riau. Abrasi parah antara lain terjadi di Pulau Bengkalis, Pulau Batu Mandi (Rokan Hilir), Pulau Rupat di Bengkalis dan Pulau Rangsang. Selain hantaman gelombang laut dan pertahanan hutan mangrove minim, laju abrasi juga didorong alih fungsi lahan.

Hasil overlay garis pantai menunjukkan, sebagian besar abrasi terjadi di pantai utara Pulau Bengkalis. Paling parah di bagian barat diikuti bagian selatan. Laju abrasi dari 1988-2004, pada level 30-40 hektar rata-rata per tahun. Sejak 2004 ke atas, laju abrasi naik lebih dua kali lipat rata-rata per tahun.

Demikian pula dengan Pulau Rangsang, yang meski tak selaju abrasi, akresi di pulau ini selama 24 tahun merujuk hasil overlay hanya 243,53 hektare atau rata-rata 10,29 hektare per tahun. Artinya, pengurangan daratan Pulau Rangsang sejak 1990-2014 seluas 854 hektar atau 36,08 hektare rata-rata per tahun.

Bila melihat laju abrasi antara kedua pulau itu, Rangsang tampak lebih kritis. Dengan luas pulau 909,8 kilometer persegi, rata-rata laju abrasi per tahun Pulau Rangsang hampir setara abrasi Bengkalis yang luasnya 11.481, kilometer persegi. Kondisi tanah dan letak pulau pun sama. Umumnya tanah rawa gambut dan langsung berhadapan dengan laut terbuka.

Inti dari semakin parahnya abrasi tersebut adalah perencanaan diterapkan pemerintah di pulau-pulau itu tidak adaptif. Contoh, pemberian izin-izin perkebunan dan konsesi hutan tanaman industri (HTI) di pulau berkontur gambut, seperti Pulau Rangsang, Rupat dan Bengkalis merupakan sumber utama masalah ancaman.

Tak hanya itu, masih di Provinsi Riau, Pulau Padang adalah pulau lainnya yang disebut terancam tenggelam. Tenggelamnya pulau ini disebabkan oleh rusaknya ekosistem gambut akibat ulah manusia yang sengaja membakar hutan dan lahan. Permukaan laut akan meningkat dan memicu abrasi Pulau Padang.

Di luar Provinsi Riau, ada Pulau Salah Namo atau Salah Nama yang terletak di Banyu Asin, Sumatera Selatan yang juga terancam tenggelam. Pulau itu kini memiliki ketinggian dua meter di atas permukaan laut.

Dilansir dari laman The Star, Kepala Unit Lingkungan di Pulau Namo, Syahrul mengatakan, warga di pulau itu sudah tahu bahwa permukaan laut yang naik dapat menenggelamkan tempat tinggal mereka. Warga pun telah memindahkan rumah mereka berjarak puluhan meter dari posisi sebelumnya.

Masih di Sumsel, ada Pulau Burung yang juga terancam lenyap. Kekinian, ketinggian pulau itu hampir sama dengan permukaan laut. Ancaman lenyapnya pulau ini disebabkan oleh pemanasan global.

Kemudian Pulau Kelor yang masuk dalam gugusan Kepulauan Seribu, Jakarta diprediksi terancam eksistensinya. Hal itu ditunjukkan lewat luas pulau yang kian menyempit. Kini, luas pulau tersebut diperkirakan hanya tersisa satu hektare saja.

Yang paling menghawatirkan, pada tahun 2050, Pulau Bali diprediksi akan terendam seluas 489 km. Hal itu disebabkan oleh curah hujan yang terus meningkat dalam jangka panjang.

Selain terancam tenggelam, Pulau Bali juga diprediksi akan terbagi menjadi dua bagian. Nusa Dua akan menjadi pulau terpisah dari Pulau Bali.

Sementara, kabar terakhir yang dilansir Walhi, dua pulau yang berada di Sumatera Selatan yakni Pulau Betet dan Pulau Gundul sudah lenyap tenggelam. Sementara empat lainnya terancam tenggelam.

Informasi terbaru yang membuat kita makin bergidik datang dari Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Eddy Hermawan yang mengatakan 115 pulau sedang dan kecil di Indonesia terancam hilang atau tenggelam akibat naiknya permukaan air laut.

“Tidak hanya Jakarta yang terancam, pulau-pulau kecil juga terancam,” tutur Eddy di Jakarta, Kamis (16/9/2021).

Sulit untuk dibayangkan, 20 atau 30 tahun ke depan, kita tak akan lagi menemukan ratusan noktah kecil di peta Kepulauan Nusantara.

JOKOWI ANGKAT JUTAAN PNS JIKA PRABOWO MENANG PILPRES? Cek Kebenarannya di sini!

Leave a Reply