Mengenal Suku Baduy, Kekayaan Budaya Dalam Kelompok Etnis Sunda

MimbarBangsa.co.id — Indonesia adalah sebuah negara yang akan seni dan , dihuni berbagai macam suku yang menetap di seluruh pelosok nusantara. Kearifan lokal serta adat istiadatnya menjaga kelestarian alam Indonesia hingga mampu terjaga dengan baik dan bersinergi dengan alam. Nama Baduy terselip diantara banyaknya suku yang ada di Indonesia. Kelompok etnis Sunda ini hidup bersama alam di Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.

Suku Baduy, Lebak

Dalam artikel artworld.indeksnews menjelaskan bahwa Suku Baduy Terbagi dalam dua golongan, disebut dengan Baduy Dalam dan Baduy Luar. Ada perbedaan yang paling mendasar dari kedua suku ini adalah dalam menjalankan pikukuh atau aturan adat saat pelaksanaannya. Jika Baduy Dalam masih memegang teguh adat dan menjalankan aturan adat dengan baik, sebaliknya tidak dengan saudaranya Baduy Luar.

Paskah-Sekda-Nias-Selatan-Ikhtiar-Duha

Tonton juga: Sosok Mayat Ditemukan Di Sawahlunto, Diduga Kuat Jasad Iwan S.Telaumbanua

 


Suku Baduy Luar sudah terkontaminasi dengan budaya luar selain Baduy. Penggunaan barang elektronik dan sabun diperkenankan ketua adat yang di sebut Jaro untuk menopang aktivitas dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Selain itu, Baduy Luar juga menerima tamu yang berasal dari luar Indonesia, mereka diperbolehkan mengunjungi hingga menginap di salah satu rumah warga Baduy Luar.

Rumah warga suku Baduy Luar

Adapun perbedaan lainnya terlihat dari cara berpakaian yang dikenakan. Pakaian adat atau baju dalam keseharian Baduy Luar tersirat dalam balutan warna putih yang mendominasi, kadang hanya bagian celananya saja bewarna hitam ataupun biru tua.

Warna putih melambangkan kesucian dan budaya yang tidak terpengaruh dari luar. Beda dengan Baduy Luar, baduy dalam menggunakan baju serba hitam atau biru tua saat melakukan aktivitas.

Suku Baduy Dalam memiliki tiga kampung yang bertugas mengakomodir kebutuhan dasar yang di perlukan semua masyarakat Suku Baduy. Tugas ini dipimpin oleh Pu'un selaku ketua adat tertinggi dibantu dengan Jaro sebagai wakilnya. Kampung Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo adalah tiga kampung tempat Suku Baduy tinggal, sedangkan kelompok masyarakat Baduy Luar tinggal di 50 kampung lainnya yang berada di bukit-bukit Gunung Kendeng.

Asal nama Baduy merupakan pemberian dari peneliti yang melihat kemiripan masyarakat di sini dengan masyarakat Badawi atau Bedoin di Arab. Kemiripan ini karena dahulu, masyarakat di sini sering berpindah-pindah mencari tempat yang sempurna untuk mereka tinggali. Namun ada versi lain yang menyebutkan, nama Baduy adalah nama Sungai Cibaduy yang terletak di bagian utara Desa Kanekes.

Sebagai mata pencaharian mayarakat Suku Baduy umumnya berladang dan bertani. Alamnya yang subur dan berlimpah mempermudah suku ini dalam menghasilkan kebutuhan sehari-hari. Hasil berupa , padi, dan umbi-umbian menjadi komoditas yang paling sering ditanam oleh masyarakat Baduy.

Dalam praktek berladang dan bertani, Suku Baduy tidak menggunakan kerbau atau sapi dalam mengolah lahan mereka. Hewan berkaki empat selain anjing sangat dilarang masuk ke Desa Kanekes demi menjaga kelestarian alam.

Proses kelestarian alam juga sangat berlaku saat membangun rumah adat mereka yang terbuat dari kayu dan bambu. Terlihat dari kontur tanah yang masih miring dan tidak digali demi menjaga alam yang sudah memberi mereka kehidupan.

Konstruksi rumah-rumah di sini dibangun dengan batu kali sebagai dasar pondasi, karena itulah tiang-tiang penyangga rumah terlihat tidak sama tinggi dengan tiang lainnya.

Terbagi dalam 3 ruangan dalam rumah dengan fungsinya yang masing-masing berbeda. Bagian depan difungsikan sebagai penerima tamu dan tempat menenun untuk kaum perempuan. Bagian tengah berfungsi untuk ruang keluarga dan tidur, dan ruangan ketiga yang terletak di bagian belakang digunakan untuk memasak dan tempat untuk menyimpan hasil ladang dan padi. Semua ruangan dilapisi dengan lantai yang terbuat dari anyaman bambu. Sedangkan pada bagian atap rumah, serat ijuk atau daun pohon kelapa. Rumah suku Baduy dibangun saling berhadap-hadapan dan selalu menghadap utara atau selatan. Faktor sinar matahari yang menyinari dan masuk ke dalam ruangan menjadi pemilihan mengapa rumah di sini dibangun hanya pada dua arah saja.

Pada dasarnya suku di kebanyakan di nusantara, tradisi kesenian di Suku Baduy juga mengenal budaya menenun yang telah diturunkan sejak nenek moyang mereka. Menenun hanya dilakukan oleh kaum perempuan yang sudah diajarkan sejak usia dini. Ada mitos yang berlaku bila pihak laki-laki tersentuh alat menenun yang terbuat dari kayu ini maka laki-laki tersebut akan berubah perilakunya menyerupai tingkah laku perempuan.

yang digunakan dalam adalah tradisi yang sudah turun temurun dari nenek moyang mereka. Kain ini bertekstur lembut untuk pakaian namun ada juga yang bertekstur kasar. Kain yang agak kasar biasanya digunakan masyarakat Baduy untuk ikat kepala dan ikat pinggang.

Hasil tenun digunakan dalam keseharian dan juga diperjualbelikan untuk wisatawan yang datang berkunjung ke Desa Kanekes. Tidak hanya kain, ada juga kain dari kulit kayu pohon terep yang menjadi ciri khas dari Suku Baduy dalam urusan benda seni. Tas yang bernama koja atau jarog ini digunakan Suku Baduy untuk menyimpan segala macam kebutuhan yang diperlukan pada saat beraktivitas atau perjalanan.

Kerajinan lain adalah berupa anyaman yang merupakan rangkaian serat yang membentuk benda. Bahan anyaman itu sendiri biasanya berasal dari serat tumbuhan, atau pun plastik. Contohnya seperti tas yang bisa dibentuk melalui proses anyaman. Bahkan hal ini telah dijadikan nenek moyang manusia selama ratusan tahun yang lalu. Tidak terkecuali dengan suku-suku tradisional yang mendiami bumi nusantara.

Hasil kerajinan tersebut adalah tas anyaman yang di buat masyarakat tradisional adalah dari Suku Baduy di Pegunungan Kendeng, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Suku Baduy memiliki tas yang terbuat dari bahan alami koja atau jarog, tas ini menjadi bagian suku baduy dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.

Terbuat dari kulit kayu Pohon Teureup atau terap yang memiliki ketahanan terhadap rayap. Tas koja diproduksi dengan cara yang tradisional. Proses ini dimulai dengan mencari jenis pohon tersebut di pedalaman hutan. Setelah kulit pohon ditemukan, proses selanjutnya adalah mengambil kulit pohon yang akan dijadikan sebagai bahan dasar tas koja. Kulit pohon ini akan dijemur sampai kering lalu akan dijadikan serabut guna memudahkan dalam pembuatan benang.

Menggunakan benang yang telah terajut kemudian di anyam hingga menjadi bentuk tas yang diinginkan. Umumnya lama proses pembuatan tas ini bisa membutuhkan waktu beberapa hari hingga seminggu. Tergantung dengan kesediaan bahan baku dan kerumitan motif yang dibentuk dalam tas koja.

Sehari-hari Suku Baduy biasa membawa tas ini dengan cara dijinjing pada bagian pundak atau disilangkan. Keunikan tas ini selain warnanya yang coklat kehitaman menyerupai kulit kayu, tas koja ini akan membusuk secara alami ketika sudah tidak terpakai oleh pemiliknya.

Buat Sobat ArtWorld yang ingin mendapatkan sensasi berlibur yang berbeda, bisa mencoba untuk berkunjung ke Kampung Baduy atau Kampung Kanekes yang ada di Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.

Wilayah Suku Baduy telah ditetapkan sebagai oleh pemerintah daerah Lebak pada tahun 1990, karena kawasan yang melintas dari Desa Ciboleger hingga Rangkasbitung ini telah menjadi tempat bermukimnya Suku Baduy yang menjadi suku asli Provinsi Banten.

Punya Tata Tertib

Namun, kalau Sobat ArtWorld ingin berkunjung ke Kampung Baduy, maka harus menaati aturan yang ada. Misalnya, kita diwajibkan melapor saat berkunjung, menjaga kebersihan, ketertiban, dan kesopanan selama ada di kampung tersebut. Selain itu, kawasan Baduy Dalam hanya bisa dimasuki sebelum jam 5 sore. Wisatawan juga diminta untuk tak membawa radio atau tape, gitar, senjata , dan pengeras suara.

Adapun aturan unik lain, pengunjung dilarang membawa nasi kotak yang mengandung unsur plastik dan kertas, serta harus membuang puntung rokok yang masih menyala. Kemudian kita juga tak diperkenankan membawa dan menggunakan sabun, shampoo, dan pasta gigi saat mandi di sungai Baduy Dalam.

Kemudian, selama Bulan Februari hingga April, kampung Baduy Dalam tertutup dan tak menerima kunjungan. Alasannya karena saat itu tengah berlangsung tradisi Kawalu. Tradisi yang dilakukan warga dengan berpuasa serta berdoa meminta bangsa dan negara yang aman, damai, dan sejahtera. Hal ini sudah ada sejak nenek moyang dan terus dilestarikan oleh suku Baduy. (Rastanti ValleyRose)

Simak berita dan artikel lainnya di  Google News


Leave a Reply