MIMBARBANGSA.CO.ID – Anggaran negara mengalir deras ke daerah, namun kualitas pelayanan kesehatan di Kabupaten Nias Selatan masih memprihatinkan. Tahun 2024, total dana yang digelontorkan pemerintah pusat ke 36 puskesmas di wilayah ini mencapai lebih dari Rp54 miliar, namun fasilitas yang semestinya menopang kesehatan masyarakat justru menunjukkan tanda-tanda kelelahan akut.
Data dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan, dana tersebut terdiri dari Rp42 miliar Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) dan Rp12 miliar dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam bentuk kapitasi. Rinciannya, Rp36 miliar dari BOK langsung masuk ke rekening masing-masing puskesmas, sementara Rp6 miliar dikelola oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Nias Selatan.
Namun sayangnya, aliran dana besar ini tidak berbanding lurus dengan kualitas layanan. Di banyak kecamatan, ambulans hanya terparkir tanpa pernah benar-benar melayani. Ironisnya, beberapa unit ditemukan tanpa mesin, ban, aki, bahkan tempat infus, tak ubahnya bangkai kendaraan di halaman parkir Dinas Kesehatan.
Sementara itu, pasien yang datang ke puskesmas dengan keluhan ringan seringkali hanya pulang membawa secarik resep, karena obat yang dibutuhkan tak tersedia. Padahal, berdasarkan data keuangan, setiap puskesmas rata-rata menerima dana antara Rp1 miliar hingga Rp1,5 miliar per tahun, langsung dari pusat.
Sayangnya, penggunaan dana ini tidak sepenuhnya independen. Sesuai dengan Permenkes Nomor 18 Tahun 2024, rencana kegiatan harus dikonsultasikan dan disetujui oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, meskipun dana sudah berada di rekening puskesmas. Ini berarti, pengelolaan dana di tingkat puskesmas tetap bergantung pada ‘restu’ birokrasi kabupaten.
Lebih ironis lagi, dana BOK hanya diperuntukkan bagi kegiatan promotif dan preventif seperti penyuluhan, posyandu, dan imunisasi. Sementara dana JKN tidak bisa digunakan untuk belanja modal maupun perbaikan fisik, termasuk pengadaan obat dan perbaikan ambulans. Akibatnya, kebutuhan nyata masyarakat seperti akses transportasi rujukan dan ketersediaan obat justru tidak bisa terpenuhi.
Sementara itu, anggaran daerah juga tidak menolong banyak. Tahun ini, Dinas Kesehatan Nias Selatan hanya menganggarkan sekitar Rp250 juta untuk seluruh perawatan ambulans, jumlah yang bahkan tidak mencukupi untuk menyervis satu unit secara menyeluruh.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius:
Dengan total dana lebih dari Rp54 miliar setahun, mengapa pelayanan dasar masih terseok-seok? Siapa yang benar-benar diuntungkan dari sistem ini, dan siapa yang terus menanggung derita di balik kekosongan layanan?
Jawabannya belum terang, namun satu hal yang pasti: pasien tetap menjadi korban, dan kepercayaan publik terhadap pelayanan kesehatan kian tergerus.
(wls/mbg)