Nias Selatan, MimbarBangsa.co.id – Timor Leste, yang resmi merdeka pada 20 Mei 2002 setelah referendum pada 30 Agustus 1999, menghadapi berbagai tantangan pasca-kemerdekaan.
Kabar terbaru menyebutkan bahwa Presiden Timor Leste mengekspresikan penyesalannya melihat perkembangan kota-kota di Indonesia, memunculkan pertanyaan apakah negara ini benar-benar menghadapi kemerosotan.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita dapat melakukan perbandingan langsung antara ibukota Timor Leste, Dili, dengan ibukota Nusa Tenggara Timur (NTT), Kupang.
Dili, ibukota Timor Leste, memiliki sejarah panjang yang dimulai sejak tahun 1520, saat itu dikuasai oleh bangsa Portugis.
Di sisi lain, Kupang, yang didatangi oleh VOC pada tahun 1613, sebelumnya telah dihuni oleh suku Helo. Perbedaan ini menciptakan dinamika sosial dan budaya yang berbeda di kedua wilayah tersebut.
Dili menjadi ibukota Timor Portugis pada 1769 sebelum kemudian menjadi Timor Leste.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, seluruh wilayah yang pernah diduduki oleh Hindia Belanda, termasuk Kupang, masuk dalam administrasi Indonesia.
Namun, Kupang baru menjadi kota pada tahun 1999, sekaligus ibukota provinsi NTT. Sebaliknya, Dili dan wilayah Timor Portugis berganti nama menjadi Timor Leste dan memproklamasikan kemerdekaannya pada 28 November 1975 setelah era Portugal.
Konflik antara Fretilin dan militer Indonesia menyulut pendudukan Timor Leste oleh Indonesia pada 7 Desember 1975. Tahun 1999, melalui referendum yang disponsori oleh PBB, mayoritas rakyat Timor Leste memilih merdeka dan secara resmi menjadi negara merdeka pada 20 Mei 2002.
Namun, sejak itu, Timor Leste dan Indonesia mengalami perkembangan yang berbeda.
Timor Leste, dengan populasi 275.664 jiwa, telah membangun identitas nasionalnya dengan bendera, lagu kebangsaan, dan mata uang sendiri.
Kota Dili menjadi pusat pemerintahan dengan sistem pemerintahan semi presidensial. Di sektor pendidikan, meskipun akses belum merata, beberapa sekolah internasional turut memberikan kontribusi positif.
Kupang, dengan populasi 442.281 jiwa, tetap menjadi ibukota provinsi NTT dengan populasi yang lebih besar. Kota ini memiliki sejarah, budaya, dan etnis yang beragam, termasuk suku Timor Rote, Sabu, Tionghoa, Flores, dan pendatang dari Sulawesi dan Jawa.
Infrastruktur pendidikan dan kesehatan di Kupang lebih terdiversifikasi, dengan lebih dari 90 sekolah Taman Kanak-Kanak, 130 sekolah Dasar, 58 sekolah Menengah Pertama, 64 sekolah Menengah Atas, dan berbagai perguruan tinggi.
Meskipun begitu, isu mengenai kemerosotan di Timor Leste setelah berpisah dari Indonesia masih menjadi perdebatan.
Beberapa pemuda Timor Leste menyebut bahwa warisan positif dari pendudukan Indonesia adalah kewajiban pelajar untuk menyelesaikan pendidikan formal.
Namun, tantangan akses pendidikan yang merata dan isu kesehatan tetap menjadi fokus pembangunan di kedua wilayah tersebut.
Secara ekonomi, perbandingan PDB per kapita antara Dili dan Indonesia memberikan gambaran yang menarik. Dili, yang mengandalkan komoditas perkebunan seperti kopi, dan Kupang, dengan ekspor lilin lebah dan kayu cendana, memiliki dinamika ekonomi yang berbeda.
Meski tidak ada angka pasti untuk PDB Timor Leste, fakta bahwa pada tahun 2018 mereka telah bebas dari kasus malaria menunjukkan perkembangan signifikan dalam sektor kesehatan.
Kesimpulannya, Timor Leste dan Kupang, sebagai representasi dari dua entitas berdaulat yang pernah bersatu, menghadapi tantangan dan peluang masing-masing pasca-merdeka.
Pendidikan, kesehatan, dan ekonomi menjadi titik-titik penting yang membedakan perkembangan keduanya. Sementara Dili membangun identitas nasionalnya, Kupang tetap menjadi kota dengan keragaman budaya dan etnis yang kuat di bawah bendera Indonesia.
Perdebatan mengenai isu kemerosotan Timor Leste setelah berpisah dari Indonesia masih terus berlangsung, memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan gambaran yang lebih utuh. (WALAS)