Jakarta, MimbarBangsa.co.id – Pada Minggu (30/7/2023), masyarakat Indonesia dikejutkan dengan peristiwa kecelakaan mobil yang tertabrak kereta di Jombang, Jawa Timur. Sebuah mobil berjenis Daihatsu Luxio tertabrak kereta api (KA) Dhoho di Dusun Gondekan, Desa Jabon, Kecamatan Jombang, Kabupaten Jombang.
Kejadian pada Sabtu (29/7/2023) sekitar pukul 23.14 WIB bermula ketika mobil tersebut melaju dari arah utara ke selatan hendak melewati pelintasan sebidang tanpa palang pintu. Pada saat bersamaan KA 423 Dhoho sedang melintasi jalur kereta api (KA) antara Stasiun Jombang dan Sembung.
Sebelum kejadian maut itu, warga yang berada tidak jauh dari lokasi sudah memperingatkan, bahkan meneriaki pengemudi mobil tersebut. Nahas, mobil tetap melaju melewati perlintasan yang akhirnya tertabrak KA 423 Dhoho dan terseret hingga kilometer 84+5/6 jalur KA antara Stasiun Jombang-Sembung.
Sebanyak delapan orang yang merupakan satu keluarga menjadi korban kecelakaan tersebut. Enam orang tewas meregang nyawa di pelintasan sebidang, sedangkan dua lainnya mengalami luka berat. Semua korban dievakuasi ke RSUD Jombang.
Enam korban meninggal ialah Wahyu Koswoyo (42) yang merupakan pengemudi mobil, Sumiowati (60), Alinsa Mareta (16), Sutrianingsih (30), Azahrah Rohmah (14), dan Adelia (19). Adapun korban yang mengalami luka berat adalah Fikri Hidayatuloh (42) dan Arimbi (13). Seluruh korban dievakuasi ke RSUD Jombang.
Puji Santoso, salah seorang anggota keluarga korban, mengaku tidak menyangka akan kehilangan ibu, anak, cucu, menantu, serta kemenakannya dalam kejadian itu. Ditemui Beritasatu.com, Minggu (30/7/2023) di RSUD Jomnbang, Puji mengungkapkan bahwa rombongan keluarga dalam mobil itu sejatinya hendak ke rumah saudara yang sakit.
Sementara itu, ayah dari Adelia yang menjadi korban tewas dalam kecelakaan tersebut, Solikin, berharap kejadian yang dialami anaknya tidak dialami keluarga lain. “Saya meminta kepada pihak kereta api untuk memasang palang pintu di pelintasan agar kejadian serupa tak terulang,” katanya saat ditemui Beritasatu.com di Desa Kedungpadang, Rejoson, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.
Kecelakaan ini menambah rentetan kecelakaan yang terjadi di pelintasan sebidang. Pada Juli 2023 saja, sudah terjadi beberapa kali kecelakaan serupa. Pada Senin (24/7/2023), KA Banyubiru relasi Solo-Semarang menabrak mobil pikap di perlintasan sebidang tanpa palang pintu di Desa Kalitengah, Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Beruntung, sopir Sonhaji (54), bersama anaknya Anggun (21), berhasil menyelamatkan diri.
Pada hari yang sama, kecelakaan juga terjadi dengan melibatkan kereta api Gajayana jurusan Gambir-Malang yang menabrak truk gandeng bermuatan ampas tebu di pelintasan sebidang tanpa palang pintu dan tidak dijaga petugas. Kecelakaan tersebut tidak mengakibatkan korban jiwa, tetapi berdampak pada kerusakan lokomotif dan keterlambatan beberapa perjalanan kereta.
Masih segar di ingatan, bagaimana truk kontainer terbakar di pelintasan kereta api Jalan Madukoro Raya, Semarang Barat, Kota Semarang, akibat tertabrak KA 112 Brantas yang melaju dari arah Jakarta menuju Blitar, Selasa (18/7/2023) malam. Beberapa detik sebelum kejadian, truk kontainer itu tiba-tiba berhenti dan mogok tepat di tengah rel. Benturan keras pun tak dapat dihindari dan mengakibatkan ledakan keras disertai kobaran api.
Penjaga pelintasan kereta atau penjaga jalan lintasan (PJL) dari Dinas Perhubungan Kota Semarang, Agus Setiawan mengatakan kendaraan yang mogok di tengah rel, khususnya di Madukoro, Semarang, ternyata sudah beberapa kali terjadi. Selama 11 tahun menjadi penjaga pelintasan Madukoro, Agus Setiawan mengaku telah menyaksikan beberapa kali kendaraan besar mogok di perlintasan.
“Kejadian kendaraan nyangkut di lokasi tersebut memang berulang kali. Sebelum truk, sempat juga bus yang tiba-tiba mogok. Dalam sejumlah kejadian tidak menimbulkan kecelakaan karena jarak antara kendaraan dan kereta api masih cukup jauh
Data dari PT Kereta Api Indonesia (KAI) selama periode 2018 hingga Mei 2023, terjadi 1.782 kecelakaan di pelintasan sebidang. Pada 2023 hingga Mei, setidaknya sudah ada 127 kasus kecelakaan di pelintasan kereta api.
Dari 1.782 kasus tersebut, sebanyak 87% atau 1.543 kasus kecelakaan terjadi di pelintasan yang tidak dijaga petugas. Kecelakaan itu melibatkan 727 kendaraan roda empat atau lebih, serta 1.055 roda dua atau tiga. Akibat kecelakan di pelintasan sebidang itu, 450 korban meninggal, 418 luka berat, sementara 410 luka ringan.
Jalur pelintasan sebidang ialah perpotongan antara jalur kereta api dan jalan yang dibuat sebidang. Tingginya kecelakaan di pelintasan sebidang membuat Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) angkat bicara. Wakil Ketua Umum Pemberdayaan dan Penguatan Wilayah MTI, Djoko Setijowarno mengatakan area pelintasan sebidang, khususnya yang liar atau tidak berizin, sudah seharusnya ditutup dan steril dari lalu lintas kendaraan atau orang.
“Kami mengusulkan, pelintasan sebidang liar itu ditutup, karena memang 80% lebih kecelakaan kereta terjadi di pelintasan sebidang, khususnya yang tidak dijaga atau ilegal. Seharusnya area itu steril dari lalu lintas kendaraan,
Data dari Direktorat Keselamatan Perkeretaapian Kementerian Perhubungan mencatat, hingga 2022 terdapat 4.194 pelintasan sebidang. Dari jumlah tersebut, hanya 39,2% atau 1.648 pelintasan yang resmi dijaga. Sebanyak 38,5% atau 1.617 pelintasan resmi tidak dijaga dan sisanya 929 pelintasan merupakan pelintasan liar atau ilegal.
Ia menilai keberadaan petugas yang berjaga di area pelintasan sebidang sangat penting untuk mencegah kecelakaan. “Kalau di daerah, yang penting dijaga oleh petugas bersertifikasi dari KAI. Petugas harus digaji sesuai UMP daerah dan dibayar dengan dana pemda, ataupun perusahaan swasta,” ungkapnya.
Flyover atau Underpass
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian sejatinya telah mengatur pelintasan kereta api seharusnya tidak boleh lagi sebidang dengan jalan raya. Faktanya, untuk menutup pelintasan sebidang, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Pasalnya, selain menutup pelintasan sebidang, pemerintah juga wajib memastikan akses kendaraan tidak tertutup begitu saja.
Djoko Setijowarno menilai pemerintah juga perlu menyediakan alternatif untuk lalu lintas kendaraan. “Misalnya dengan membangun underpass atau flyover untuk lalu lintas kendaraan. Bisa juga di perkotaan, rel keretanya yang dinaikkan,” ujarnya.
Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tengah melakukan koordinasi untuk mengatasi persoalan pelintasan sebidang. Salah satunya dengan mempercepat pembangunan flyover dan underpass.
Staf Ahli Kementerian PUPR, Endra S Atmawidjaja, mengungkapkan dari seluruh pelintasan kereta api sebidang di Pulau Jawa dan Sumatera, hanya 187 pelintasan yang berada di jalan nasional, sedangkan selebihnya berada di jalan provinsi, kabupaten, dan kota.
Oleh karena itu, Kementerian PUPR hanya bertanggung jawab atas 187 titik pelintasan yang sebagian besar berada di Jawa. Dari jumlah tersebut, di 49 pelintasan telah dibangun flyover atau underpass, sehingga tidak lagi menjadi pelintasan sebidang.
Endra menegaskan Kementerian PUPR berkomitmen untuk melanjutkan pembangunan flyover atau underpass di 138 pelintasan lainnya. “Ribuan pelintasan sebidang yang berada di jalan provinsi, kabupaten, dan kota, mengalami kendala lantaran tidak di bawah wewenang Kementerian PUPR,” katanya.
Senada dengannya, Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Mohamad Risal Wasal menyebutkan pembangunan pelintasan tidak sebidang akan terus dilakukan oleh pemerintah. Apalagi ke depan, Kemenhub menargetkan kecepatan kereta api di Indonesia akan meningkat dari 80-120 kilometer (km) per jam pada saat ini menjadi menjadi 160 km per jam.
Selain itu, setiap 3-5 menit akan ada kereta yang lewat, sehingga pemerintah memprioritaskan untuk membuat pelintasan yang tidak sebidang. “Pemerintah tidak akan memutus akses masyarakat berlalu lintas, tetapi menyelamatkannya saat melakukan perjalanan,” ujar Risal.
Di sisi lain, ia berharap pemerintah daerah dapat bertindak sebagai mediator bagi warga setempat, sementara pemerintah pusat dan provinsi membantu membangun pelintasan tidak sebidang berupa flyover atau underpass.
Kendala Anggaran
Kendala lain yang dihadapi untuk mengubah pelintasan sebidang menjadi tidak sebidang ialah keterbatasan anggaran. Untuk membangun sebuah flyover diperlukan biaya Rp 100 miliar sampai Rp 150 miliar, sehingga biaya yang dibutuhkan untuk membangun 138 flyover mencapai Rp 20 triliun. “Itu mahal sekali,” kata Endra.
Untuk mengatasinya, Endra berharap pemerintah daerah bisa menyediakan lahan dan Kementerian PUPR yang membangunnya. Pemerintah berupaya mempercepat realisasi pembangunan flyover guna mengurangi jumlah pelintasan sebidang. Pada tahun ini, Kementerian PUPR akan membangun 6 flyover, yaitu masing-masing dua di Sumatera Selatan dan Jawa Barat, serta masing-masing satu di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Early Warning System
Selain membangun flyover, Kementerian PUPR juga meningkatkan early warning system (EWS) dan fasilitas di sejumlah pelintasan sebidang kereta api untuk mengurangi risiko kecelakaan. Misalnya, merapikan rambu peringatan yang tertutup pohon, menambah pencahayaan di lokasi, serta memperjelas batas-batas di pelintasan sebidang.
“Kami juga berkoordinasi dengan kepolisian dan Kementerian Perhubungan guna memastikan keamanan di pelintasan sebidang,” kata Endro.
Early warning system berfungsi memberikan peringatan kepada petugas penjaga pelintasan dan melindungi pengguna jalan yang akan melewati pelintasan kereta api. Sistem ini menggunakan kamera CCTV yang terpasang sejauh 500-1.000 meter dari pelintasan kereta api. Kedatangan kereta api dideteksi oleh kamera CCTV dan hasilnya dikirim ke server di pos penjagaan pintu kereta api. Setelah diproses, sirene akan berbunyi sebagai tanda bahwa kereta api akan melewati pelintasan dan palang pintu akan ditutup.
Terkait hal itu, Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Soerjanto Tjahjono mengatakan EWS bisa mengurangi tingkat kecelakaan di pelintasan sebidang.
“Jika pelintasan tidak dijaga, minimal dipasang EWS. Paling memungkinkan saat ini, untuk pelintasan di tengah sawah atau hutan, setidaknya dipasang EWS untuk mengurangi potensi kecelakaan,”
Kendati demikian, Soerjanto menyebutkan adanya sejumlah persoalan terkait EWS. Salah satunya, perangkat yang sering dicuri orang dan aksi vandalisme oleh masyarakat sekitar.
“Misalnya begitu EWS dipasang dengan tenaga surya dan baterai, fungsi alat sudah berjalan, tiba-tiba dicuri baterainya. Sudah berapa kali uji coba, enggak tahan lama, hanya sekitar 3 hari. Enggak sampai seminggu alat sudah tidak berfungsi karena dicuri orang,” ungkapnya.
Selain itu, penanggung jawab pelintasan sebidang juga harus segera ditentukan karena saat ini masih terjadi saling tunjuk ketika terjadi kecelakaan di pelintasan sebidang.
“Siapa penanggung jawab sebenarnya? Apakah Kemenhub, PUPR, atau pemerintah kabupaten/kota? Karena belum jelas, selama ini kerap saling lempar. Ke depan harus dibuat jelas,” kata Soerjanto.
Tingkatkan Kedisplinan
Selagi sterilisasi atau penutupan pelintasan sebidang masih berproses, mau tidak mau, masyarakat juga harus sadar dengan risiko maut yang mengintai di area tersebut. Djoko Setijowarno menilai tingginya angka kecelakan di pelintasan sebidang tak lepas dari rendahnya tingkat kedisiplinan masyarakat dalam berkendara.
Pasal 296 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebetulnya telah mengatur mengenai sanksi bagi masyarakat yang menerobos pelintasan kereta api, yaitu pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak Rp 750.000. Hal ini dipertegas dalam Pasal 110 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta dan diperkuat oleh Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub tahun 2018 tentang Pedoman Teknis Pengendalian Lalu Lintas di Ruas Jalan pada Lokasi Potensi Kecelakaan di Pelintasan Sebidang dengan Kereta Api.
Sejatinya, pengendara wajib berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai ditutup, dan/atau ada isyarat lain. Pengendara juga wajib memastikan kendaraannya dapat melewati perlintasan sebidang dengan selamat, serta wajib memastikan pula kendaraannya keluar dari pelintasan sebidang apabila mesin kendaraan tiba-tiba mati di pelintasan sebidang.
“Kita sebetulnya sudah punya aturannya, tetapi kadang penindakannya memang tidak jelas. Kami mengusulkan, orang yang bandel itu ditilang polisi saja. Buat pelanggar, ditilang seperti orang yang melawan arus lalu lintas. Lama-lama juga jengah, supaya masyarakat juga lebih disiplin dalam berkendara,” kata Djoko.
Senada dengannya, pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio meminta pemerintah menindak penerobos pelintasan kereta api dengan sanksi yang tegas.
“Saat palang ditutup, masyarakat harus berhenti. Tidak ada yang menerobos. Begitu terobos, denda. Aturannya ada, tetapi tidak dijalankan. Seharusnya begitu melanggar palang pintu, ditilang, lalu didenda. Kalau masyarakat protes, merasa mahal, ya jangan melanggar,” pungkasnya.