TUGiTpO0GfM7GSzpGpzpGpYpTY==

Slider

RUU Kesehatan, Resep Manjur Atasi Kekurangan Dokter

Jakarta, MimbarBangsa.co.id – Warga Desa Bontojai, Kecamatan Bontocani, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, tidak seberuntung masyarakat di kota-kota besar. Desa dengan 1.916 jiwa ini tidak mendapatkan fasilitas kesehatan yang memadai. Tidak ada dokter di sana, mereka hanya mengandalkan seorang bidan bernama Mega Armini (34). Segala keluhan penyakit dipasrahkan kepada seorang bidan lulusan diploma, yang kini tengah menempuh S1 di salah satu Universitas di Makassar.

Setiap desa di Kecamatan Bontocani hanya memiliki bidan seperti Mega Armini. Dia setiap hari menempuh perjalanan 1-2 jam ke desa tersebut dari kediamannya, demi menjangkau pasien. Medan yang berat pun sering memaksa Mega untuk menggunakan motor trail.

“Sebagai bidan desa, saya memiliki tanggung jawab untuk melayani pasien umum dengan bantuan konsultasi dokter jika ada penyakit yang berhubungan. Sebelum memberikan obat, kita selalu berkonsultasi dengan dokter. Dengan kata lain, saya merupakan kepanjangan tangan dari dokter yang berada di puskesmas,” kata Mega.

Kecamatan Bontocani tidak sendirian. Secara keseluruhan di Sulawesi Selatan memang jumlah dokternya masih jauh dari kata ideal. Bayangkan saja, untuk provinsi dengan jumlah populasi sebanyak 9,07 jiwa, hanya ada 6.360 dokter yang bertugas untuk melayani masyarakat setempat. Padahal menurut standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rasio idealnya 1 dokter menangani 1.000 orang, atau dengan kata lain Sulawesi Selatan masih kekurangan sekitar 3.000 dokter lagi untuk mencapai jumlah ideal.

Tak hanya di Sulawesi Selatan. Beberapa daerah di Pulau Jawa rupanya juga mengalami kekurangan dokter. Padahal menurut data dari Sistem Informasi Sumber Daya Manusia Kesehatan (SISDMK) Kementerian Kesehatan, 58,4% (102.885) dari total dokter di Indonesia (176.110) berada di Pulau Jawa.

Di Kabupaten Subang, Jawa Barat, misalnya, hanya terdapat 101 dokter umum dan 39 dokter spesialis. Jumlah tersebut sangat tidak memadai jika dibandingkan dengan jumlah penduduk sekitar 1,6 juta jiwa. Setiap dokter harus melayani sekitar 10.000 orang, jauh dari standar WHO yang rasio idealnya 1 dokter menangani 1.000 orang.

“Jumlah dokter memang tidak ideal dan infrastrukturnya juga tidak memadai. Masalah kekurangan dokter yang tidak segera diatasi dapat membahayakan kesehatan masyarakat,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Subang, dokter Maxi.

Masalah serupa terjadi di Banyuwangi, Jawa Timur. Saat ini, terdapat 177 dokter yang bertugas di Kabupaten Banyuwangi, terdiri dari 107 dokter umum dan 70 dokter spesialis. Jumlah ini jauh dari ideal untuk melayani penduduk Banyuwangi yang berjumlah 1,7 juta orang.

“Kami di Banyuwangi masih mengalami keterbatasan jumlah dokter. Tidak hanya dokter, juga tenaga kesehatan, seperti perawat dan bidan. Di Banyuwangi hanya ada 898 perawat dan 656 bidan,” ungkap Plt Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi, Amir Hidayat.

Kekurangan dokter juga menjadi masalah di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Sumenep yang memiliki 8 kecamatan kepulauan dan 19 kecamatan daratan hanya memiliki 180 dokter. Akibatnya, Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Sumenep menerbitkan surat izin praktik bagi perawat dan bidan untuk memberikan pelayanan kesehatan di daerah-daerah yang tidak memiliki dokter.

“Di Madura, istilah ‘bu dokter’ digunakan untuk menyebut perawat atau bidan yang dapat memberikan perawatan medis. Meskipun mereka memiliki izin praktik mandiri dalam bidang perawatan, kami tetap mengawasi, terutama dalam hal layanan kesehatan. Intinya, Dinas Kesehatan Sumenep ingin memberikan layanan medis maksimal kepada masyarakat melalui semua tenaga medis yang kami miliki.

Sungguh miris, setelah 77 tahun merdeka, Indonesia ternyata masih meninggalkan problem klasik dalam bidang kesehatan. Padahal sesuai dengan amanat UUD 1945, setiap orang berhak memperoleh layanan kesehatan dan negara memiliki tanggung jawab untuk menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang layak.

Kurangnya dokter di Tanah Air menjadi salah satu penyebab layanan kesehatan belum optimal dirasakan masyarakat. Hal ini berdampak langsung terhadap kesehatan dan keselamatan pasien, termasuk persoalan gizi buruk dan stunting. Prevalensi stunting di Indonesia sendiri pada tahun 2022 mencapai 21,6%, masih di atas angka yang ditetapkan WHO sebesar 20%. Presiden Joko Widodo sendiri menargetkan prevalensi stunting Indonesia harus 14% di tahun 2024.

Distribusi dokter yang tidak merata di tiap daerah tetap menjadi masalah serius hingga saat ini. Data dari Sistem Informasi Sumber Daya Manusia Kesehatan (SISDMK) Kementerian Kesehatan menunjukkan jumlah tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis) berjumlah 176.110 orang. Angka ini jauh di bawah standar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menetapkan rasio ideal dokter dengan populasi suatu negara adalah 1:1.000. Dengan 270 juta penduduk, Indonesia membutuhkan 270.000 dokter.

Monopoli
Kekurangan dokter dan distribusi yang tidak merata di Indonesia disebabkan hambatan perizinan. Hal ini diakui Prof Dr Deby Vinski, wakil ketua umum Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI).

Izin praktik kedokteran saat ini diatur dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Pasal 37 menyebutkan izin praktik dikeluarkan oleh pejabat kesehatan di kabupaten/kota tempat praktik kedokteran atau kedokteran gigi dilaksanakan.

Pasal 38 mengatur bahwa seorang dokter atau dokter gigi harus memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat registrasi dokter gigi yang diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia. Selain itu, seorang dokter juga harus memiliki rekomendasi dari organisasi profesi. Dalam UU Praktik Kedokteran, organisasi profesi yang dimaksud adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi.

“Monopoli organisasi profesi menjadi hambatan utama dalam memenuhi kebutuhan dokter di Indonesia. Kita baru menyadari hal ini ketika menteri kesehatan mendapatkan data tentang kekurangan dokter dan distribusi yang tidak merata.

Prof Deby menjelaskan RUU Kesehatan, khususnya Pasal 245, mengatur bahwa Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memiliki kewenangan untuk menerbitkan surat tanda registrasi (STR) dan surat izin praktik (SIP) tanpa perlu rekomendasi dari organisasi profesi. Hal ini merupakan salah satu solusi untuk mempercepat penambahan jumlah dokter guna memenuhi kebutuhan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia.

Selain itu, RUU Kesehatan juga mengatur tentang proses perpanjangan STR dokter yang tidak perlu dilakukan setiap 5 tahun sekali. Dokter hanya perlu mengurus STR sekali untuk teregistrasi dan berlaku seumur hidup. Sementara itu, SIP tetap berlaku dan diperpanjang setiap 5 tahun sekali.

“Dalam RUU Kesehatan, monopoli organisasi profesi kedokteran yang selama puluhan tahun menghambat pertumbuhan jumlah dokter di Indonesia akan dihapuskan. RUU Kesehatan juga mencantumkan bahwa ijazah peserta pendidikan spesialis di rumah sakit pendidikan ditandatangani oleh pimpinan rumah sakit pendidikan dan rektor universitas yang terafiliasi,” ungkapnya.

Saat ini, Komisi Akreditasi Rumah Sakit mencatat ada 952 rumah sakit paripurna di dalam negeri yang berpotensi menjadi rumah sakit pendidikan. Oleh karena itu, Prof Deby dan 23 koalisi organisasi tenaga kesehatan lainnya, seperti Pemerhati Pendidikan Kedokteran dan Pelayanan Kesehatan, Perkumpulan Apoteker Seluruh Indonesia (PASI), dan Kesatuan Aksi Memperjuangkan Profesi Apoteker Kuat (KAMPAK), mendukung RUU Kesehatan yang mengatur tentang rumah sakit yang dapat berperan sebagai rumah sakit pendidikan.

Perhatian Jokowi
Kekurangan jumlah dokter, terutama dokter spesialis, menjadi perhatian khusus dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Orang nomor satu di Indonesia tersebut mengungkapkan bahwa setidaknya 2 juta penduduk Indonesia masih pergi berobat ke luar negeri. Akibatnya, devisa Rp 165 triliun melayang.

“Alkes (alat kesehatan) sudah, fisik sudah bagus, tetapi masih banyak yang belum bagus. Itu harus diperbaiki, sehingga layanan rumah sakit ke masyarakat makin baik,” kata Jokowi pada 6 Maret 2023.

Oleh karena itu, Jokowi meminta Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin dan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim untuk mengatasi masalah pendidikan dokter.

“Saya minta kepada Pak Menkes dan nanti akan saya sampaikan ke mendikbudristek untuk pendidikan dokter spesialis agar dibanyakin dan dimudahkan, sehingga masyarakat kita betul-betul semuanya yang sakit bisa tertangani,” katanya.

Segera Disahkan
Menkes Budi Gunadi Sadikin saat rapat kerja dengan Komisi IX DPR, Senin (19/6/2023), menyatakan bahwa RUU Kesehatan akan mengubah layanan kesehatan menjadi lebih baik bagi seluruh masyarakat.

“Presiden menyampaikan mimpi Indonesia Emas 2045, kapal besar bangsa Indonesia telah berlayar dan harapan Indonesia akan masa keemasan itu tidak akan tercapai tanpa manusia dan tanpa rakyat Indonesia yang sehat,” katanya.

Sebagai salah satu bidang yang berpengaruh dalam pembangunan nasional, kesehatan menjadi hak asasi manusia yang harus diwujudkan oleh pemerintah.

“Kita tidak bisa menghentikan badai atau menenangkan lautan. Akan tetapi, kita bisa memegang kemudi dengan kuat untuk menuju tujuan yang sama, memberikan layanan kesehatan terbaik bagi seluruh rakyat Indonesia,” ujar Budi Gunadi Sadikin.

Rancangan Undang-Undang Kesehatan (RUU Kesehatan) segera disahkan menjadi undang-undang. Jika tidak ada halangan, RUU Kesehatan akan disahkan sebelum masa sidang DPR berakhir pada 13 Juli 2023.

Pada Senin (19/6/2023), perwakilan pemerintah bersama Komisi IX DPR membahas materi RUU Kesehatan dalam pembicaraan tingkat I. Hasilnya, mayoritas fraksi di Komisi IX menyepakati pengesahan RUU Kesehatan sebagai undang-undang dan akan dibawa ke pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna DPR.

Empat fraksi, yaitu Fraksi PDIP, Gerindra, PPP, dan PAN, sepakat secara penuh untuk mengesahkan RUU Kesehatan. Tiga fraksi lainnya, yakni Nasdem, Golkar, dan PKB, menyetujui pengesahan dengan catatan. Hanya dua fraksi, yakni Demokrat dan PKS, yang menolak pengesahan RUU Kesehatan.

Pengesahan RUU Kesehatan menjadi undang-undang tentunya dinanti masyarakat. Pada 15 Desember 2022, DPR memasukkan RUU Kesehatan yang disusun dengan konsep omnibus law ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas pada 2023. Dua bulan kemudian, pada 14 Februari 2023, DPR menyepakati RUU Kesehatan menjadi RUU inisiatif DPR.

Pada tanggal 10 Maret 2023, DPR mengirim draf RUU Kesehatan kepada pemerintah. Presiden Joko Widodo pun menunjuk Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sebagai koordinator wakil pemerintah untuk membahas RUU ini bersama DPR. Pada 5 April 2023, pemerintah menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Kesehatan kepada DPR. Selanjutnya, pada 19 Juni 2023, RUU Kesehatan telah disepakati oleh fraksi-fraksi di Komisi IX DPR dan siap dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang.

Wakil Ketua Komisi IX DPR, Melkiades Laka Lena menyatakan tidak ada masalah dalam proses pengesahan RUU Kesehatan. Perumusan dan penjadwalan rapat paripurna pengesahan RUU Kesehatan akan dilakukan lima pimpinan DPR dan sembilan pimpinan fraksi.

“Semua sudah sesuai proses, tidak perlu khawatir. RUU Kesehatan bakal disahkan pada waktunya karena RUU ini penting untuk mempercepat transformasi kesehatan di Indonesia ke arah yang lebih baik.

 

© Copyright - MIMBAR BANGSA
Added Successfully

Type above and press Enter to search.