Jakarta, MimbarBangsa.co.id – Sebagai salah satu bidang yang berpengaruh dalam pembangunan nasional, kesehatan menjadi hak asasi manusia yang harus diwujudkan oleh pemerintah. Tak heran apabila kehadiran Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan dengan metode omnibus law diharapkan bisa memperbaiki kekurangan dalam UU 36/2009 tentang Kesehatan, sekaligus menyempurnakan penyelenggaraan kesehatan di Indonesia.
RUU Kesehatan–yang kelak disahkan menjadi undang-undang (UU)–diharapkan akan mempermudah masyarakat mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas, meningkatkan kemandirian dalam memproduksi sediaan farmasi, seperti obat dan alat kesehatan, serta mempersiapkan masyarakat menghadapi krisis kesehatan di masa kini dan nanti.
RUU Kesehatan juga akan meningkatkan efisiensi pembiayaan kesehatan, sekaligus meningkatkan produksi tenaga medis dan tenaga kesehatan berkualitas, serta mewujudkan digitalisasi sistem kesehatan dan inovasi teknologi kesehatan.
Namun, RUU Kesehatan terpaksa harus melewati jalan berliku karena tidak semua pemangku kepentingan bisa menerimanya. Beberapa organisasi profesi menolak sejumlah pasal dalam RUU Kesehatan.
Pemerataan Pelayanan
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyebutkan target percepatan pemerataan pelayanan kesehatan di Indonesia sudah tertunda selama 2,5 tahun akibat pandemi Covid-19. Oleh karenanya, pemerintah dan seluruh tenaga kesehatan Indonesia harus fokus untuk melakukan transformasi melalui percepatan target layanan nasional yang tertunda.
Kalimat kunci dalam RUU Kesehatan adalah pemerataan pelayanan kesehatan di daerah-daerah, sehingga layanan primer, layanan rujukan, pemerataan sarana prasarana kesehatan, hingga sumber daya manusia kesehatan bisa dilengkapi.
Siti Nadia mengatakan pandemi Covid-19 memberi pelajaran berharga, yakni mengajarkan bahwa penambahan jenis penyakit dan penurunan program kesehatan menjadi pendorong utama perlu perwujudan pemerataan pelayanan kesehatan. Pemerataan tersebut juga mencakup penataan kembali struktur layanan primer, seperti puskesmas dan posyandu. Pemerataan tersebut bisa terlaksana jika RUU Kesehatan segera disahkan.
Dia memberi contoh pelayanan kesehatan yang belum merata, terutama di wilayah timur Indonesia. Masih banyak pasien atau masyarakat Indonesia yang memiliki kendala untuk melakukan pengobatan, terutama yang berasal dari daerah. Mereka harus terlebih dahulu dirujuk ke rumah sakit besar di kota dan umumnya tidak bisa langsung ditangani karena ada banyak pasien yang juga mengantre. Untuk itu, diperlukan penambahan rumah sakit dan pemerataan penyebaran dokter ke daerah-daerah.
Penderita penyakit jantung di kawasan timur Indonesia harus dirujuk ke Makassar atau Surabaya untuk menjalani perawatan lebih lanjut. Sesampai di sana pun, mereka tak bisa langsung dilayani karena masih ada banyak pasien yang mengantre. Demikian juga dengan pasien kanker dari Nusa Tenggara Timur (NTT) atau Maluku.
“Tidak mungkin hanya punya satu rumah sakit, misalnya di Kupang (NTT, Red) atau Maluku Utara. Diperlukan pemerataan pelayanan kesehatan, terutama layanan utama yang didukung sumber daya manusia dan teknologi informasi. Rumah sakit di wilayah timur Indonesia harus siap memberikan layanan kanker, jantung, pembuluh darah, dan strok, yang merupakan penyakit terbanyak penyebab kematian dan kesakitan di masyarakat.
Kuantitas dan Kualitas Dokter
Koordinator Koalisi Organisasi dan Forkom Nakes, Yenni Tan mengatakan saat ini masih banyak kekurangan pada sistem kesehatan di Indonesia. Salah satunya adalah jumlah dokter serta tenaga kesehatan yang tidak seimbang dengan kebutuhan masyarakat. Kualitas dokter pun masih perlu ditingkatkan.
Untuk menjawab hal tersebut, khususnya menyangkut ketersediaan dokter spesialis, RUU Kesehatan memberi salah satu solusi, yakni pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit (hospital based). Pasal 183 ayat (1) berbunyi,”Rumah sakit dapat ditetapkan menjadi rumah sakit pendidikan setelah memenuhi persyaratan dan standar rumah sakit pendidikan.” Pelonggaran ini diharapkan dapat memperbanyak jumlah dokter dan dokter spesialis, sehingga program pemerataan dokter bisa secepatnya terealisasi. Model pendidikan dokter seperti ini juga diharapkan meningkatkan kualitas pendidikan kesehatan dan juga pelayanan kesehatan preventif.
Yenni Tan juga menyoroti disparitas pendapatan antara dokter spesialis dengan dokter umum maupun tenaga kesehatan lain dan tidak sesuai dengan beban kerja. Persoalan lainnya adalah perundungan (bullying) dan feodalisme dalam profesi kesehatan. Hal ini membuahkan penyalahgunaan wewenang oleh pengurus-pengurus organisasi profesi.
Terkait masih terbatasnya jumlah dokter spesialis, Yenni menduga oknum dalam organisasi profesi kedokteran kerap mendahulukan kepentingan pribadi daripada kebutuhan masyarakat. Dokter spesialis harus mendapatkan surat rekomendasi dari organisasi profesi untuk mendapatkan surat izin praktik (SIP) agar bisa berpraktik di daerah. Pada umumnya pengurus organisasi profesi adalah dokter-dokter senior. Sebagian dari mereka tak berani berkompetisi secara sehat dengan dokter spesialis yang usianya lebih muda, sehingga tidak mengeluarkan surat rekomendasi tanpa alasan jelas.
“Mereka tidak mau lahan kerjanya diganggu! Ada beberapa contoh oknum dari organisasi profesi yang mempersulit dokter WNI lulusan luar negeri untuk berbakti di Indonesia,” katanya.
Selain itu, organisasi profesi juga diduga memeras anggotanya melalui penerbitan surat tanda registrasi (STR). Pemasukan organisasi hanya dari penerbitan STR juga cukup besar. Ada juga kolegium yang mewajibkan pemberian sumbangan untuk memperpanjang STR.
Dalam RUU Kesehatan, STR tetap harus diperbarui setiap tahun, tetapi lebih jelas dan transparan karena ditangani oleh pemerintah.
Harapan
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Siti Fadilah Supari Foundation (SFS Foundation) Web Warouw mengungkapkan RUU Kesehatan adalah harapan bagi tenaga medis, tenaga kesehatan, dan juga rakyat Indonesia. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan berupaya melakukan transformasi kesehatan melalui RUU Kesehatan.
Dia menyebutkan ada sejumlah pihak yang menentang RUU Kesehatan, termasuk organisasi formal, seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).
“Jangan sampai kepentingan pribadi atau kelompok yang diutamakan dan dikedepankan. Kita harus mengutamakan kepentingan bangsa, karena cukup banyak pengalaman dalam menghadapi pandemi Covid-19. Itu harus dijadikan pelajaran agar kita bisa memperbaiki sistem kesehatan di masa mendatang. Jangan sampai kesalahan kita terulang lagi,” ujar Web.
RUU Kesehatan, lanjutnya, merupakan kebutuhan mendesak, sehingga diharapkan bisa disahkan sebelum Pemilu 2024 pada Februari mendatang.
“Ini kebutuhan mendesak. Pemerintah punya kesadaran melakukan transformasi kesehatan. DPR juga punya niat dan rakyat juga punya kebutuhan. Kita optimistis bisa diselesaikan sebelum pergantian kekuasaan,” katanya.