Jakarta, MimbarBangsa.co.id – Bupati Kepulauan Meranti nonaktif Muhammad Adil menggadaikan tanah dan bangunan kantor Bupati Kepulauan Meranti ke bank senilai Rp 100 miliar. KPK pun menyoroti hal tersebut.
“Bila hal itu benar, ini fenomena menarik dan sepengetahuan kami baru kali terjadi,” kata Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri kepada wartawan, Senin (17/4/2023).
Ali mengatakan penggadaian yang dilakukan Muhammad Adil itu menarik itu didalami. KPK tengah menelusuri aspek hukum dari tindakan tersebut.
“Kami nanti coba dalami aspek hukumnya melalui pendalaman pada proses penyidikan yang sedang kami selesaikan sekarang ini,” tutur Ali.
Dilansir detikSumut, Sabtu (15/4), penggadaian tanah dan bangunan kantor Bupati Kepulauan Meranti itu dibenarkan Plt Bupati Asmar. Asmar mengaku akan memanggil pihak BRK untuk meminta penjelasan hingga akhirnya bangunan dan tanah tersebut bisa jadi jaminan.
“Menurut informasi yang saya dapat demikian (digadaikan Rp 100 miliar). Sebab, uang itu dalam berita Rp 100 miliar,” kata Asmar, Jumat (14/4).
“Kantor, ya termasuk tanah halaman (yang digadaikan),” kata Asmar.
Namun dana Rp 100 miliar itu belum cair sepenuhnya. Asmar mengatakan dana hasil gadai kantor bupati baru Rp 50 miliar dari Bank Riau Kepri Syariah.
“Baru cair sekitar Rp 50 miliar. Belum full (penuh),” ujarnya.
Kantor bupati digadaikan baru terungkap saat Adil ditahan KPK. Dana dari gadai itu disebut-sebut akan digunakan Adil untuk membangun infrastruktur.
Dana itu, menurut Asmar, akan dikeluarkan bank sesuai dengan bobot proyek yang dikerjakan. Jika proyek tuntas 30 persen, dana yang bisa dicairkan hanya 30 persen dari total pinjaman.
“Dikeluarkan sesuai (progres) pekerjaan infrastrukturnya. Kalau 30 persen pekerjaan, maka dibayarkan 30 persen,” terang Asmar.
Muhammad Adil diketahui terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada Kamis (6/4). Dia kemudian ditetapkan sebagai tersangka atas tiga kasus sekaligus, yakni dugaan korupsi pemotongan anggaran, suap jasa travel umrah, dan suap pemeriksa keuangan.
Atas ketiga kasus itu, Adil dijerat Pasal 12 huruf f atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.