MEDAN, MimbarBangsa.co.id — Fenomena informasi viral di dunia digital perlu mendapat perhatian lebih serius. Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo mengajak semua pihak agar lebih peduli terhadap fenomena tersebut. Ini lantaran fenomena viralogi bisa menjadi salah satu sumber penyebaran informasi hoaks.
“Sekarang ini ada fenomena viralogi. Dalam fenomena ini, media dijadikan alat untuk memobilisasi massa sebagai kekuatan,” kata kapolri dalam sambutan tertulis yang dibacakan Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Dedy Prasetyo, dalam acara Sosialisasi Nota Kesepahaman dan Perjanjian Kerja Sama Dewan Pers dengan Polri di Medan, Selasa (7/2).
Dengan fenomena ini, tutur kapolri, konten tertentu dalam jumlah banyak mampu menempati posisi sebagai trending isu dan sangat mudah menjadi perhatian masyarakat. Untuk itu, dia menganjurkan supaya konten-konten positif yang disertai fakta dan kebenaran harus lebih banyak memenuhi ruang digital. Hal ini untuk menekan konten negatif agar tidak menjadi trending isu.
Di samping fenomena viralogi, ujarnya, dua hal lain yang bisa menjadi sarana penyebaran hoaks adalah kovergensi media dan jurnalisme warga. Dalam konvergensi media, pemilik bisa mempunyai media televisi, radio, media daring, dan media sosial. Berita-berita dari media sosial acap tidak disertai data dan fakta serta lebih mudah memenuhi ruang di media televisi, radio, dan media daring.
Bisa saja, papar Listyo Sigit, informasi dari media sosial tersebut mengandung hoaks dan unsur provokatif. “Hal ini bisa berbahaya,” tuturnya.
Faktor berikutnya adalah jurnalisme warga. Dengan 278 juta pengguna fasilitas digital, mereka dengan mudah dan cepat menyebarkan informasi yang belum pasti kebenarannya. Informasi yang tersebar terkadang begitu cepat yang kebenarannya belum terverifikasi.
Untuk itu, kapolri meminta adanya upaya peningkatan komunikasi antara seluruh anggota Polri dengan Dewan Pers serta konstituennya. Komunikasi itu bisa berupa pertukaran data/informasi, peningkatan sumber daya manusia, koordinasi dalam penentuan pidana dan penyalahgunaan wewenang wartawan, penyamaan persepsi dalam tim gugus tugas yang akan dibentuk, serta upaya meminimalkan penyebaran informasi hoaks terutama yang berpotensi memecah belah masyarakat.
Sementara itu, Ketua Dewan Pers, Dr Ninik Rahayu SH MS, menginginkan kerja sama dengan Polri ini bisa mengamplifikasi berbagai upaya yang selama ini telah dilakukan kedua belah pihak. “Harapan kami, kriminalisasi terhadap karya jurnalistik dapat berkurang atau bahkan dihapuskan sama sekali,” ujarnya.
Supaya kerja sama itu berjalan efektif, Ninik menyatakan perlunya dukungan sumber daya manusia di lingkungan kepolisian yang mengetahui, memahami, dan dapat menerapkan kedua regulasi tersebut. Dengan begitu, setiap ada laporan masyarakat terkait karya jurnalistik, aparat kepolisian bisa memilah secara proporsional.
Ninik menambahkan, dengan adanya penegak hukum yang fasih terkait koordinasi perlindungan kemerdekaan pers, sistem hukum di Indonesia akan mampu menghindarkan karya jurnalistik dari kriminalisasi dalam bentuk apa pun. Apalagi, dengan telah disahkannya perubahan KUHP, intaian kriminalisasi itu semakin meluas dengan adanya sejumlah pasal yang potensial mengancam kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Sedangkan Prof Bagir Manan yang ikut memberikan sambutan di acara tersebut menyatakan, belakangan ini terjadi eskalasi yang cukup besar terhadap tindakan melawan hukum. Dia berpesan agar semua pihak juga melihat faktor nonhukum untuk membangun tatanan masyarakat dan bangsa, termasuk kemerdekaan pers.
“Ada dua dimensi yang terkait dengan kemerdekaan pers. Pertama adalah potensi ancaman terhadap kemerdekaan pers. Dimensi kedua adalah bagaimana menjaga, memelihara, dan menegakkan etika pers,” kata Bagir.
Dalam pandangan Bagir, etika adalah standar terdepan dalam kemerdekaan pers. Etika merupakan ketaatan setiap insan atas dorongan pribadi. Menurut dia, etika lebih tinggi derajatnya dari hukum karena hal itu merupakan cerminan dari tananan sosial di masyarakat. Kasus korupsi pun, tambahnya, merupakan bentuk dari lemahnya etika dalam kehidupan sosial, berbangsa, dan bernegara.