Jakarta, MimbarBangsa.co.id – Ungkapan Bupati Kabupaten Meranti, Muhammad Adil, Provinsi Riau yang menyebut Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berisi ‘iblis dan setan’ berbuntut panjang. Lontaran kalimat ini dipicu oleh kekesalannya karena merasa tidak mendapat kejelasan terkait Dana Bagi Hasil (DBH) yang mestinya diterima di daerahnya.
Pasalnya, Adil menilai produksi minyak Kabupaten Meranti terus bertambah dan harga minyak dunia juga melonjak, tetapi penerimaan DBH hanya bertambah Rp700 juta menjadi Rp114 miliar tahun ini.
“Tapi kenapa minyak kami bertambah, lifting-nya naik, duitnya makin sedikit. Bagaimana perhitungan asumsinya, kok naiknya cuma Rp 700 juta,” ungkapnya seperti dikutip dari situs Pemda Meranti yang di unggah pada Kamis (9/12/2022).
Sebelumnya, Bupati Meranti juga mengungkapkan bahwa Meranti merupakan salah satu daerah produsen minyak terbesar di Indonesia. Daerah itu kata dia mampu memproduksi minyak mentah hingga 7.500 barel per hari saat ini, dari sebelumnya hanya di kisaran 3.000-4.000 barel
Kendati demikian, Kepulauan Meranti merupakan kabupaten/kota dengan angka kemiskinan yang terbilang tinggi di Provinsi Riau.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk miskin di Kabupaten Meranti pada 2021 tercatat masih ada sebanyak 48,50 ribu orang. Jumlah ini bertambah dibandingkan jumlah penduduk miskin di 2020, tetapi berkurang dibandingkan 2019.
Tercatat, pada 2020, jumlah penduduk miskin di Kabupaten Meranti tercatat sebanyak 47,10 ribu orang dan 2019 tercatat sebanyak 49,89 ribu orang.
Jika dilihat dari persentasenya, jumlah penduduk miskin Meranti pada 2021 sebesar 25,68% dari total penduduk Meranti. Artinya, 1 dari 4 orang di Meranti terbilang miskin. Tingkat kemiskinan Meranti naik dari 2020 sebesar 25,28%, namun persentasenya turun dari 2019, 26,93%.
Sebagai pembanding, pada 2021, tingkat kemiskinan Provinsi Riau hanya berkisar 7% dan nasional 9,71%.
Secara terpisah, Staf Khusus Menteri Keuangan bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengingatkan Pemda Meranti untuk lebih mengoptimalkan belanja untuk menurunkan angka kemiskinan.
Selain itu, Kemenkeu juga menyinggung bahwa indikator kinerja pemerintah dalam pengelolaan anggaran dana transfer umum (DTU) baik itu dana alokasi khusus (DAU) maupun DBH masih lebih rendah dibanding daerah lain.
“Dalam rangka membantu masyarakat miskin dari dampak inflasi, Pemda wajib mengalokasikan 2 % dari DTU (DBH dan DAU) untuk perlindungan sosial. Akan tetapi, per 9 Des 2022 Kabupaten Kepulauan Meranti baru merealisasikan belanja wajib 9,76%, jauh dari rata-rata secara nasional yang mencapai 33,73%. Prihatin!” tulis Yustinus lewat akun twitter pribadinya (@prastow).
Kabupaten Meranti juga menerima manfaat dari belanja Pemerintah Pusat melalui kementerian dan lembaga (K/L) di wilayahnya. Total belanja K/L tersebut sebesar Rp137,99 miliar (2019), Rp154,59 miliar (2020), Rp118,03 miliar (2021), dan Rp120,41 miliar (2022).
Namun, sejak 2016, rata-rata serapan belanja hanya 82,11%Per 9 Desember 2022, anggarannya baru terealisasi 62,49%.
Rendahnya penyerapan menunjukkan bahwa Meranti belum optimal mengelola anggaran terutama dalam upaya menurunkan tingkat kemiskinan yang tinggi (yaitu) 25,68%.
Pada akhirnya, rendahnya belanja suatu daerah malah akan menyulitkan daerahnya berkembang dan menghambat penciptaan kesejahteraan pada masyarakat. Karenanya, Agus mendorong untuk daerah bisa memanfaatkan belanja APBD dengan optimal.