Jakarta, MimbarBangsa.co.id — Tes skolastik digunakan dalam Seleksi Nasional Berdasarkan Tes 2023, salah satu jenis seleksi masuk PTN.
Tes berbasis komputer yang sebelumnya dikenal sebagai Tes Potensi Skolastik (TPS) di SBMPTN ini berisi materi yang mengukur potensi kognitif, penalaran matematika, literasi dalam bahasa Indonesia, dan literasi dalam bahasa lnggris.
Salah satu transformasi dalam seleksi masuk PTN ini diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikburistek) Nomor 48 Tahun 2022.
Ketua Tim Persiapan Seleksi Masuk PTN 2023 Budi P. Widyobroto mengatakan, perubahan ini salah satunya dimaksudkan agar siswa mampu dan tidak mampu secara ekonomi tidak perlu berlomba belajar dengan berbayar.
“Setidaknya, dengan pola seleksi tahun 2023 ini, diharapkan siswa SLTA mempunyai kesempatan yang sama, baik dari jenis sekolah, apakah SMA, MA, SMK, sekolah yang berasal dari perkotaan atau kabupaten, kemudian juga siswa yang berkecukupan secara ekonomi maupun kurang mampu, karena yang tidak mampu pun atau yang mampu tidak akan banyak berlomba ini dan itu dengan berbayar,” kata Budi dalam Silaturahmi Merdeka Belajar, Kamis (15/9/2022).
Tes Skolastik di Seleksi Masuk PTN 2023, buat Apa?
Kepala Pusat Asesmen Pendidikan Asriyanti Kemendikbudristek menuturkan, keempat komponen pengukuran dalam tes skolastik mengukur penalaran berbeda yang perlu untuk menguasai bidang ilmu.
“Untuk apa tes ini digunakan? Karena untuk menguasai bidang ilmu, keempat ini sangat penting. Seseorang yang punya kemampuan penalaran tinggi akan mudah belajar sebagian bidang ilmu. Misalnya untuk teknik butuh kompetensi penalaran matematika, potensi kognitif, dan juga literasi baik bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris juga penting,” terang Asriyanti.
Karena kalau tidak ingin ketinggalan perkembangan teknologi, tidak hanya butuh kemampuan membaca ,tetapi juga kemampuan membaca secara kritis, berpikir kritis. (Bidang ilmu) ekonomi, kimia, semuanya perlu ini,” sambungnya.
Belajar Mata Pelajaran di Sekolah Tetap Penting?
Asriyanti menerangkan, tes skolastik tidak berisi penilaian konten mata pelajaran IPA atau IPS, tetapi penalaran umum dan penalaran di beberapa area, seperti matematika hingga bahasa.
Di sisi lain, ia mengatakan, konten materi pelajaran tetap penting, tetapi tidak digunakan dalam tes.
“Bukan berarti berarti konten itu tidak penting. Mata pelajaran tetap penting, tetapi tidak diujikan, tidak digunakan sebagai alat seleksi,” katanya.
“Tetapi jika diperhatikan, literasi dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, itu merupakan kemampuan atau kompetensi yang dibangun pada semua mata pelajaran juga. Jadi holistiknya itu tetap ada,” sambung Asriyanti.
Pembelajaran bersama Guru
Ia mengatakan, seleksi dengan tes skolastik diharapkan dapat menyiapkan siswa untuk masa depan yang tidak pasti, termasuk prospek kerja setelah lulus kuliah.
“Pekerjaan yang sekarang ada barangkali tidak ada, masalah nanti berbeda. Jadi kita menyiapkan generasi penerus untuk keadaan yang tidak pasti. Jadi karena itu penalaran sangat penting. Konten juga tidak berarti tidak penting. Penting,” katanya.
Ia mengatakan, pembelajaran sesuai mata pelajaran tetap penting, tetapi untuk kebutuhan jangka panjang.
“Jadi alat seleksi biasanya jadi tujuan, ingin lulus, berbagai upaya dilakukan (drilling belajar mata pelajaran tertentu). Nah, penalaran ini tidak mudah di-drilling. Kalau ada usaha meningkatkan kompetensi, itu bagus, tetapi tidak sekadar untuk memperoleh nilai tinggi. Jadi kebutuhannya ini untuk jangka panjang pengembangan kompetensi,” katanya.
Ia menuturkan, guru ke depannya diharapkan juga menekankan penalaran dalam melakukan pembelajaran di sekolah. Dengan demikian, siswa tidak harus lagi drilling mata pelajaran di sekolah agar berhasil di seleksi masuk PTN.
“Tidak lagi bisa mengajarkan konten, meminta untuk mereproduksi. (Pengetahuan dari mata pelajaran bermanfaat) lebih pada apa yang setelah itu. Jadi yang sering dikatakan itu: berpikir tingkat tinggi, tidak lagi memahami mengetahui, tetapi apa yang dapat digunakan dalam penyelesaian masalah,” sambungnya.
“Jadi berpikir kritis ini sangat ditekankan, ini yang kita katakan jadi jembatan (antara pendidikan di sekolah dan di kampus). Pendidikan menengah diharapkan jadi acuan di pendidikan tinggi. karena penalaran ini nanti untuk bekal di pendidikan tinggi, juga bekal untuk ke depannya. Kita bayangkan penalaran tinggi, literasi baik, kemungkinan berhasil untuk semua bidang studi,” pungkas Asriyanti.
Sumber: Detik. com